Sabtu, 28 Maret 2015

Penjelasan Gerakan Jari Telunjuk Saat Tasyahud; Diam Atau Begerak-Gerak ?


بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Urusan posisi jari telunjuk saat tahiyat (menggerak-gerakkan atau diam), terkadang menjadi persoalan serius bagi segolongan orang, sesuatu yang dilihat berbeda dengan yang umum dilakukan terkadang dianggap sebagai keanehan. Memberi penilaian sesuatu yang dianggap aneh mestilah objektif dengan meneliti kaidah yang mendasarinya sehingga terhindar dari sikap fanatisme semata, hanya karena berbeda. Mestilah diketahui dalil yang menyuruh atau melarang sesuatu, agar ada keyakinan dalam melakukan sesuatu atau meninggalkannya. Jadi bagaimana sih hukumnya menggerakkan jari telunjuk saat tasyahud ? 
Menukil dari Kitab Fikih Sunnah, saya akan mengajak pembaca memulai dari posisi duduk waktu tahiyat.
Berikut adalah sunah-sunah  saat duduk waktu tasyahud :

1. Posisi Kedua Tangan

  • Diterima dari ibnu 'Umar r.a.:  اَنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا فَقَدَ لِتَشَهُّدِ وَضَعَ يَدَهُ اْليُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ اْليُسْرَى، وَ اْليُمْنَى عَلَى اْليُمْنَى وَعَقَدَ ثَلاَ ثًا وَخَمْسِيْنَ وَاَشَارَ بِأَصْبُعِهِ السَّـبَابَةِز (وَفِيْ رِوَايَةٍ) : وَقَبَضَ أَصَابِعَهُ كُلَّهَاوَأَشَارَ َبِلَّتِيْ تَلِى اْلإِبْأهَـامِArtinya: "Bila Nabi saw duduk untuk membaca tasyahud, diletakkannya tangannya yang kiri di atas lututnya yang kiri, dan tangannya yang kanan di atas lututnya yang kanan, dan dibuatnya ikatan 53 [1]. serta menunjuk dengan jari telunjuknya." Dan menurut riwayat lain: "Dan digenggamnya semua jarinya dan menunjuk dengan anak jari yang di samping ibu jari."
  • Dari Wail bin Hajar: فَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْـرَى عَلَى فَخْدِهِ وَرُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَجَعَلَ حَدَّمِرْ فَقِهِ اْلاَيْمَنِ عَلَى فَخْدِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ قَـبَضَ بَيْنَ اَصَابِعَهُ فَحَلَّقَ حَلْقَةً ثـُمَّ رَفَعَ إِصْـبَعَهُ فَرَاَيْتُهُ يُحَرِّ كُهَا يَدْعُوُبِهَا Artinya: "Bahwa Nabi saw. menaruh telapak tangganya yang kiri di atas paha dan lutut kirinya, dan telapak tangan kanan ditaruh di atas pahanya yang kanan, kemudian digenggamnya jari-jarinya hingga merupakan lingkaran." Dan menurut suatu riwayat: "Digenggamnya jari tengah dan ibu jari, serta menunjuk dengan telunjuk, kemudian diangkatnya sebuah jarinya, maka digerakannya dan digunakannya untuk berdo'a."  (H.R.Ahmad). Berkata Baihaqi: يحتمل أن يكون المراد بالتحريك الاشارة بها لا تكرير تحريكها فيكون موافقا لرواية ابن الزبير "Mungkin yang dimaksud dengan menggerakkan itu menunjuk, bukan menggerakkannya secara berulang-ulang, supaya maksudnya cocok dengan riwayat Ibnu Zubeir. Artinya: "Bahwa Nabi saw. bila berdo'a, memberi isyarat dengan jarinya dan tidak menggerak-gerakannya." (H.R.Abu Daud dengan isnad yang sah, dan disebutkan oleh Nawawi).
  • Dari Zubeir r.a. katanya:  َانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَاجَلَسَ فِيْ تَشَهُدِ وَضَعَ يَدَهُ اْليُمْنَى عَلَى فَحِذِهِ اْليُمْنَى، وَيَدَهُ اْليُسْرَى عَلَى فَحِذِهِ اْليُسْرَى،وَأَشَارَبِالسَّبَابَةِ،وَلَمْ يُجَاوِزْبَصَرُهُ إِشَارَتَهُ Artinya:"Bila Rasulullah saw. duduk membaca tasyahud, diletakkannya tangannya yang kanan di atas paha yang kanan, dan tangannya yang kiri di atas pahanya yang kiri, serta memberi isyarat dengan telunjuk, sedang pandangan matanya tidak melampaui telunjuknya itu." (H.R.Ahmad, Muslim dan Nasa'i).

Maka di dalam hadits ini ada keterangan bahwa cukup menaruh tangan kanan di atas paha tanpa digenggam, dan memberi isyarat ialah dengan telunjuk kanan. Juga diterangkan bahwa termasuk sunnah bila pandangan orang yang shalat itu tidak melampaui isyaratnya.
Demikianlah tiga buah kaifiat (tata cara) yang sah, dan diperbolehkna beramal dengan salah satu diantaranya.

2. Memberi Isyarat dengan Jari Telunjuk Kanan dengan Membungkukkannya Sedikit Hingga Salam

Dari Numeir al-Khuza'i, katanya:
 رَأَيْتُ رَسُوْلُاللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَقَاعِدٌ فِي الصَّلاَةِ قَدْ وَضَعَ ذِرَاعِهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى، رَافِعًا أُصْبُعَهُ السَّبَابَةَ، وَقَدْ حَنَاهَاشَيْئًا وَهُوَيَدْعُوْ 
Artinya:
"Saya lihat Rasulullah saw. yang ketika itu sedang duduk shalat, meletakkan lengannya yang kanan di atas pahanya yang kanan sambil mengangkat jari telunjuknya, dengan membungkukkannya sedikit waktu berdo'a itu." (H.R. Ahmad, Abu Daud, Nasa'i, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad-sanad yang cukup baik).
Diterima dari Anas bin Malik r.a., katanya: 
مَرَّرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَعْدٍ وَهُوَ يَدْعُوْ بِأُصْبُعَيْنِ فَقَالَ: أَحِّدْ يَاسَعْدُ. 
Artinya: 
"Rasulullah saw. lewat pada Sa'ad yang ketika itu sedang berdo'a dengan menggunakan dua jari, maka sabdanya: 'Pakailah satu jari, hai Sa'ad'!" (H.R.Ahmad, Abu Daud, Nasa'i dan Hakim).
Dan Ibnu Abbas r.a. ditanya tentang laki-laki yang berdo'a dengan memberi isyarat pada jarinya itu, maka ujarnya: "Itu menunjukkan keikhlasan." Dan menurut Anas bin Malik, sebagai merendahkan diri agar dekat kepada Allah, sedang menurut Mujahid, untuk memadamkan godaan setan.

3. Agar Duduk Iftirasy Pada Tasyahud Pertama dan Duduk Tawaruk Pada Tasyahud Akhir.

Duduk Iftirasy artinya: duduk dengan menegakkan kaki kanan dan membentangkan kaki kiri kemudian menduduki kaki kiri tersebut
Duduk Tawaruk artinya: menegakkan kaki kanan sambil menghadapkan jari-jarinya  ke arah kiblat dan melipatkan kaki kiri di bawahnya sambil duduk dengan panggul di atas lantai.
Dalam sebuah hadits, Abu Humeid melukiskan shalat Rasulullah saw. , tersebut: 
فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى. وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ.
Artinya: 
"Maka bila ia duduk pada raka'at kedua, di dudukinya kakikya yang kiri dan ditegakannya kakinya yang kanan. Kemudian bila ia duduk pada raka'at akhir, dimajukannya kakinya yang kiri dan ditegakannya yang kanan serta ia duduk di atas panggulnya." (H.R. Bukhari).

4. Pendapat Ulama Madzhab Mengenai Gerakan Jari Telunjuk

  1. Golongan Syafi'i, berpendapat agar ia memberi isyarat sekali saja waktu Syahadat ketika membaca "illallaah."
  2. Golongan Hanafi, agar mengangkatkan telunjuk itu ketika menyangkal - yakni ketika menyebut "la" artinya "tidak" dan menjatuhkannya ketika membenarkan, yakni ketika menyebut "ilallah" (kecuali Allah) waktu syahadat.
  3. Golongan Malik, hendaklah digerak-gerakkannya ke kanan-kiri sampai selesai shalat.
  4. Golongan Hambali, hendaklah ia memberi isayarat dengan jarinya setiap menyebut nama Allah, buat menunjukkan kekuasaan-Nya, tanpa menggerak-gerakkannya.
Catatan:
Setelah mengetahui dalilnya, silakan pembaca mengambil keputusan mana yang akan diikuti. Namun sebaik-baik pendapat yang diikuti adalah yang berpegang pada pendapat yang kuat. Namun ingat, tetaplah tolelir dengan pendapat lainnya karena masalah ini masih dalam tataran khilafiyah (silang pendapat antara para ulama). 

Allaahu a'lam.
                             ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ                              “Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
Sumber:
Fikih Sunnah 1 hal. 412-417, Sayyid Saabiq, Penerbit: PT.al-Ma'arif-Bandung,
http://pcm-weru.blogspot.com/p/artikel.html
***

Pengertian Sujud Sahwi, Tata Cara, Bacaan dan Sebabnya

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Sujud sahwi (سجود السهو) adalah bagian ibadah Islam yang dilakukan di dalam shalat. Sujud sahwi merupakan dua sujud yang dilakukan oleh orang yang shalat untuk menggantikan kesalahan yang terjadi di dalam shalatnya karena lupa (sahw).
Penyebabnya dilakukannya Sujud sahwi ada tiga yaitu:
1. Menambahkan sesuatu (az-ziyaadah), 
2. Menghilangkan sesuatu (an-naqsh), dan 
3. Dalam keadaan ragu-ragu (asy-syak) di dalam Shalat.
Nabi saw. juga pernah lupa di dalam shalat. Hal ini ada keterangannya, bahkan beliau sendiri bersabda: 
إِ نَّــمَا أَ نَـا بَـشَــرٌ أَ نَـسِى كَــمَا تَــنْـسَــوْ نَ : فَـإِ ذَ ا نَـسِـيْتُ فَـذَ كِّــرُوْ نـِىْ
"Saya ini hanyalah manusia biasa, saya juga lupa sebagaimana tuan-tuan lupa. Oleh sebab itu jika saya lupa, maka ingatkanlah!" (H.R.Bukhari dan Muslim).

1. Cara Mengerjakannya

  • Sujud Sahwi dilakukan dengan dua kali sujud sebelum salam atau sesudahnya oleh seseorang yang sedang bershalat. Kedua cara ini memang diajarkan oleh Rasulullah saw. Dalam sebuah hadits shahih dari Sa'id al-Khudri, bahwa Rasulullah saw. bersabda:  إِذَا شَـكَّ أَحَـدُ كُــمْ فـِى صَـلاَ تـِـهِ فَــلَـمْ يـَـدْرِكُــمْ صَــلَّى، ثَــلاَ ثَـا أَ مْ أَرْ بـَــعَــتَـا، فَـــلْــيَـطْــرَ حِ الـشَّــكَّ وَ لْــيَــبْـنِ عَــلَى مَـااسْــتَــيْــقَـنَ ثُــمَّ سَـجَـدَ تَــيْـنِ قَـــبْــلَ أَنْ يـُـسَــلِّـمَ "Jikalau salah seorang diantaramu ragu-ragu dalam shalatnya, hingga tak tahu berapa raka'at yang sudah dikerjakannya, apakah tiga ataukah empat, maka baiknya ia menghilangkan mana yang diragukan dan menetapkan mana yang diyakini, kemudian sujud dua kali sebelum salam."(H.R.Muslim).
  • Dalam shahih Bukhari dan Muslim disebutkan pula mengenai cerita Dzulyadain bahwa beliau pernah pula Sujud Sahwi sesudah salam.
  • Adapun yang lebih utama ialah mengikuti sebab yang mengharuskan sujud sahwi tersebut. Maksudnya kalau datangnya sebab tadi sebelum salam, hendaklah sujud dilakukan sebelum salam, sebaliknya kalau diketahui sesudah salam, maka sujud itu pun dilakukan sesudahnya, sedang bagi hal-hal yang tidak termasuk dalam kedua keadaan di atas, boleh saja dipilih sesudah salam atau sebelumnya. Dan ini tanpa ada perbedaan apakah yang menyebabkan sujud itu berupa penambahan atau pengurangan raka'at. Hal ini berdasarkan keterangan Muslim dalam shahihnya bahwa Nabi saw. bersabda:  إِذَازَادَ الـرَّجُـلُ أَوْ نَــقَـصَ فَــلْــيَـسْـجُـدْ سَـجَـدَ تَــيْـنِ "Jikalau shalat seseorang terlebih atau terkurang, maka hendaklah ia sujud dua kali." 
  • Contoh cara melakukan sujud sahwi sebelum dan sesudah salam dan diawali bertakbir. dijelaskan dalam hadits ‘Abdullah bin Buhainahفَلَمَّا أَتَمَّ صَلَاتَهُ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ فَكَبَّرَ فِي كُلِّ سَجْدَةٍ وَهُوَ جَالِسٌ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ “Setelah beliau menyempurnakan shalatnya, beliau sujud dua kali. Ketika itu beliau bertakbir pada setiap akan sujud dalam posisi duduk. Beliau lakukan sujud sahwi ini sebelum salam.” (HR. Bukhari no. 1224 dan Muslim no. 570). Contoh sesudah salam dijelaskan dalam hadits Abu Hurairahفَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَسَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ فَرَفَعَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ وَرَفَعَ “Lalu beliau shalat dua rakaat lagi (yang tertinggal), kemudian beliau salam. Sesudah itu beliau bertakbir, lalu bersujud. Kemudian bertakbir lagi, lalu beliau bangkit. Kemudian bertakbir kembali, lalu beliau sujud kedua kalinya. Sesudah itu bertakbir, lalu beliau bangkit.” (HR. Bukhari no. 1229 dan Muslim no. 573).
  • Sujud sahwi sesudah salam ini ditutup lagi dengan salam sebagaimana dijelaskan dalam hadits ‘Imron bin Hushainفَصَلَّى رَكْعَةً ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ. “Kemudian beliau pun shalat satu rakaat (menambah raka’at yang kurang tadi). Lalu beliau salam. Setelah itu beliau melakukan sujud sahwi dengan dua kali sujud. Kemudian beliau salam lagi.” (HR. Muslim no. 574).

2. Do'a Dalam Sujud Sahwi

Sebagian ulama menganjurkan do’a ini ketika sujud sahwi,

سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو - “Subhana man laa yanaamu wa laa yas-huw” (Maha Suci Dzat yang tidak mungkin tidur dan lupa).

Namun dzikir sujud sahwi di atas cuma anjuran saja dari sebagian ulama dan tanpa didukung oleh dalil. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,

قَوْلُهُ : سَمِعْت بَعْضَ الْأَئِمَّةِ يَحْكِي أَنَّهُ يَسْتَحِبُّ أَنْ يَقُولَ فِيهِمَا : سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو – أَيْ فِي سَجْدَتَيْ السَّهْوِ – قُلْت : لَمْ أَجِدْ لَهُ أَصْلًا .

“Perkataan beliau, “Aku telah mendengar sebagian ulama yang menceritakan tentang dianjurkannya bacaan: “Subhaana man laa yanaamu wa laa yas-huw” ketika sujud sahwi (pada kedua sujudnya), maka aku katakan, “Aku tidak mendapatkan asalnya sama sekali.”

Sehingga yang tepat mengenai bacaan ketika sujud sahwi adalah seperti bacaan sujud biasa ketika shalat. Bacaannya yang bisa dipraktekkan seperti,

1. سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى -“Subhaana robbiyal a’laa” - [Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi]

2. سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى

“Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy.” 

[Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku].

3. Hal-Hal Yang Menyebabkan Dilakukannya Sujud Sahwi

  1. Mengucapkan salam sebelum sempurnanya shalat. Diterima dari 'Atha': "Bahwa Ibnu Zubair shalat Maghrib lalu memberi salam setelah menyelesaikan dua raka'at kemudian bangun menuju Hajar Aswad. Orang-orang mengucapkan tasbih dan ia pun bertanya: 'Ada apa?' Dan setelah mengerti maksud orang-orang itu, ia pun meneruskan shalatnya dan sujud dua kali. Peristiwa ini disampaikan kepada Ibnu Abbas r.a. maka ujarnya: Perbuatannya itu sesuai dengan sunnah Nabi saw." (Diriwayatkan oleh Ahmad, Bazzar dan Thabrani).
  2. Kelebihan jumlah raka'at. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Jama'ah dari Ibnu Mas'ud, bahwa Nabi saw."Pada suatu ketika beliau shalat Dhuhur, lalu ditanya: 'Apa kah rakat'at shalat ini memang ditambah?' Ujar beliau: 'Mengapa demikian'? Kata orang-orang itu: 'Anda telah melakukan shalat lima raka'at'. Maka beliau pun sujud dua kali setelah memberi salam itu'." Hadits ini menjadi bukti bahwa shalat yang terlebih jumlah raka'atnya karena lupa dan dalam raka'at ke-4 tidak duduk, maka shalat itu sah adanya.
  3. Lupa Tasyahud awal atau salah satu sunah shalat. Sebagaimana diriwayatkan oleh Jama'ah dari Ibnu Buhainah: "Bahwa Nabi saw. bershalat lalu setelah sampai dua raka'at terus berdiri. Orang-orang pun sama mengucapkan tasbih, tetapi beliau meneruskan shalatnya. Dan setelah selesai barulah beliau sujud dua kali kemudian memberi salam." Barang siapa yang lupa duduk pertama lalu ingat sebelum sempurna berdiri, hendaklah ia duduk kembali. Tetapi bial sudah sempurna berdirinya, maka ia tidak perlu duduk kembali. (H.R.Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah dari Mughirah bin Syu'bah).
  4. Ragu-ragu jumlah raka'at shalat. Dari Abdurrahman bin 'Auf katanya: "Saya dengar Rasulullah saw. bersabda: 'Jika salah seorang di antaramu ragu dalam shalatnya, hingga ia tidak tahu, apakah baru seraka'at ataukah sudah dua raka'at, maka baiknya ditetapkannya seraka'at saja. Jika ia tidak tahu apakah dua atau sudah tiga raka'at, baiknya ditetapkannya dua raka'at. Dan jika tak tahu apakah tiga atau sudah empat raka'at, baiknya ditetapkannya tiga raka'at, kemudian hendaklah ia sujud bila shalat selesai di waktu masih duduk sebelum memberi salam, yaitu sujud Sahwi sebanyak 2 kali'." (H.R.Ahmad, Ibnu Majah dan Turmudzi yang menyatakan sahnya). Dari Abu Sa'id al-Khudri, katanya: "Rasulullah saw. bersabda: 'Apabila slah seorang diantaramu ragu-ragu dalam shalatnya hingga tak tahu apakah sudah tiga ataukah empat raka'at, maka hendaklah ia menghilangkan keraguannya dan menetapkan saja apa yang telah diyakininya, kemudian sujud dua kali sebelum salam. Sekiranya ia telah melakukan lima raka'at maka sujud itulah yang menggenapkan shalatnya, dan sekiranya baru cukup empat raka'at, maka sujudnya itu adalah untuk menjengkelkan setan'." (H.R. Ahmad dan Muslim). Kedua hadits ini menjadi alasan bagi pendapat jumhur ulama bahwa seseorang yang ragu-ragu dalam bilangan raka'at, hendaklah ia menetapkan saja bilangan yang lebih sedikit yang diyakini, kemudian ia melakukan sujud sahwi.
Semoga bermanfaat.
 ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ 
“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
Sumber:
Fikih Sunnah 2 hal.119-125, Sayyid Saabiq, Penerbit:PT.Al-Ma'arif-Bandung.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sujud_sahwi
http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/sujud-sahwi-3-tata-cara-sujud-sahwi.html


Hukum Shalat Di Kuburan, Gereja, Tempat Penyembelihan Dan Di Atas Ka'bah

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Beberapa syarat sahnya shalat diantaranya adalah memakai pakaian yang suci dari najis, menghadap ke kiblat dan tempat yang suci. Pada dasarnya, shalat di tempat manapun di bumi Allah ini sah asalkan tempat tersebut suci dari najis, entah di rumah, di sekolahan, apartemen, kos-kosan dan lain-lain. Tetapi ada beberapa tempat yang dikecualikan untuk tidak menjalankan shalat ditempat tersebut, karena beberapa alasan. Artikel ini akan membahasnya berdasarkan pada hadits Rasulullah saw. Insyaallah...
* Keumuman bolehnya Shalat di mana saja.
عَنْ جَابِرٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: جُعِلَتْ لِيَ اْلاَرْضُ طَهُوْرًا وَ مَسْجِدًا. فَاَيُّمَا رَجُلٍ اَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلّ حَيْثُ اَدْرَكَتْهُ
Dari Jabir, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Bumi ini dijadikan untukku sebagai pensuci dan untuk tempat sujud. Maka dari itu siapa saja yang menjumpai waktu shalat, maka shalatlah di tempat ia menjumpainya".[1].
* Tempat -tempat yang dilarang untuk shalat
sebuah hadits riwayat dari Ibnu Umar
أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى أن يصلي في سبع مواطن المزبلة، والمجزرة، والمقبرة، وقارعة الطريق، والحمام، ومعاطن الإبل، وفوق ظهر بيت الله تعالى 
Sesungguhnya Rasulullah saw melarang menunaikan shalat tujuh tempat; tempat pembuangan sampah, tempat penyembelihan (hewan), kuburan, di tengah-tengah jalan, di kamar mandi, di kandang unta dan di atas(bangunan) ka’bah.[2]. 

Tempat Yang Dilarang Untuk Shalat dan Alasannya.

1. Shalat Di Kuburan. 
Dari 'Aisyah, bahwa Nabi saw. bersabda: 
لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى ، اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسْجِدًا
Allah melaknat orang Yahudi dan Nashrani di mana mereka menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid[3].
Dari Jundab, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW sebelum beliau wafat kurang lima hari, beliau bersabda,
 اِنّى اَبْرَأُ اِلىَ اللهِ اَنْ يَكُوْنَ لِى مِنْكُمْ خَلِيْلٌ فَاِنَّ اللهَ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِى خَلِيْلاً كَمَا اتَّخَذَ اِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً. وَ لَوْ كُنْتُ مُتَخّذًا مِنْ اُمَّتِى خَلِيْلاً لاَتَّخَذْتُ اَبَا بَكْرٍ خَلِيْلاً، اَلاَ وَ اِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوْا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ اَنْبِيَائِهِمْ وَ صَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ. اَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا اْلقُبُوْرَ مَسَاجِدَ، اِنّى اَنْهَاكُمْ عَنْ ذٰلِكَ.
"Sesungguhnya aku serahkan kepada Allah orang yang menjadi kekasihku, karena Allah Ta'ala telah menjadikanku kekasih sebagaimana Dia menjadikan Ibrahim sebagai kekasih. Dan seandainya aku menjadikan seseorang kekasih diantara ummatku, tentu aku menjadikan Abu Bakar sebagai kekasihku. Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang dahulu sebelum kalian biasa menjadikan qubur Nabi-nabi mereka dan qubur orang-orang shalih mereka itu sebagai tempat ibadah. Maka dari itu, ingatlah! janganlah sekali-kali kalian menjadikan qubur-qubur sebagai masjid-masjid. Sesungguhnya aku melarang kalian dari berbuat demikian". [4].

2. Shalat di Gereja atau Sinagog
Imam Al Bukhari telah membuat bab dalam kitab Shahih-nya, Bab Shalat di Gereja. Dan Umar r.a. berkata, “Sesungguhnya kami tidak masuk ke gereja kamu semua karena ada patung yang dimana di dalamnya ada gambar-gambar.” Dahulu Ibnu Abbas r.a. melaksanakan shalat di geraja kecuali kalau di gereja tersebut ada patung.
Ibnu Hajar  berkata, “Perkataan ‘Bab Shalat di dalam Gereja’ kata al biya’ah adalah tempat ibadahnya orang Kristen. Pemilik kitab Al Muhkam, al bi’ah adalah tempat ibadahnya pendeta. Dikatakan ia adalah geraje orang kresten. Yang kedua adalah yang dijadikan patokan. Yang termasuk dalam hukum al bii’ah adalah gereja, rumah pendeta, sinagog, rumah patung, rumah api dan semisalnya.”
Fuqaha Hanafiyah menyatakan bahwa makruh hukumnya seorang muslim memasuki gereja atau tempat ibadah orang kafir karena tempat tersebut merupakan tempat berkumpulnya syetan bukan karena seorang muslim tidak punya hak untuk memasukinya.[5]. 
Sedangkan fuqaha Malikiyah dan Hanabilah dan sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa seorang muslim diperbolehkan memasuki gereja atau tempat ibadah orang kafir lainnya. Sedangkan sebahagian yang lainnya mensaratkan harus ada izin dari mereka yang menggunakan tempat tersebut. [6].

3. Shalat di Tempat Pembuangan Kotoran, Tempat Penyembelihan Hewan, Di Tengah Jalan, Di Tepian Tempat Pembaringan Onta, Tempat Pemandian dan Di Atas Ka'bah.
(Silakan lihat hadits kedua di atas sebagai dalilnya).

Beberapa Alasan Pelarangan

  1. Tempat pembuangan sampah dan tempat pembantaian: karena di sana banyak najis. Oleh karena itu shalat di dalamnya haram jika tanpa tabir, dan kalau pakai tabir, menurut jumhur ulama makruh. Tetapi menurut Ahmad dan Daud Zhahiri tetap haram dalam keadaan bagaimanapun.
  2. Tempat pembaringan unta: Karena tempat itu diperuntukan bagi bangsa jin, tetapi ada pula yang mengemukakan alasan lain. Dan hukum shalat di sana sama dengan hukum shalat di tempat pembuangan sampah atau di pembantaian.
  3. Shalat di tengah jalan. Karena itu adalah tempat lalu lintas yang merupakan hak orang banyak, dan akan banyak gangguan yang menyebabkan hilangnya kekhusu'an.
  4. Shalat di pemandian: Karena di sana banyak terdapat najis. Yang mengatakan makruh ialah jumhur ulama, yakni kalau tidak ada najis di tempat shalat, tetapi Ahmad, golongan Zhahiriyah dan Abu Tsur berpendapat bahwa sama sekali tidak sah shalat di sana.
  5. Di atas Ka'bah: Karena menurut perintah diharuskan menghadapinya, oleh karena itu banyak ulama yang menghukumi tidak sah shalat di sana, hanya golongan Hanafi yang menyatakan boleh, tetapi makruh karena kurangnya penghormatan terhadap ka'bah yang mulia itu. 
Adapun shalat di dalam Ka'bah, hukumnya sah, baik shalat fardhu maupun sunnah. Diriwayatka dari Ibnu Umar r.a. katanya:
دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ وَرَدِيفُهُ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ فَأَنَاخَ فِي أَصْلِ الْكَعْبَةِ فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ وَسَعَى النَّاسُ فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِلَالٌ وَأُسَامَةُ فَقُلْتُ لِبِلَالٍ مِنْ وَرَاءِ الْبَابِ أَيْنَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ بَيْنَ السَّارِيَتَيْنِ
Rasulullah memasuki Makkah sedangkan Usamah bin Zaid membonceng beliau. Kemudian beliau menambatkan untanya di pondasi Ka'bah. Ibnu Umar berkata; Sementara orang-orang melakukan sa'i, lalu Nabi , Bilal & Usamah masuk ke dalam Ka'bah. aku bertanya kepada Bilal dari belakang pintu; Di manakah Rasulullah mengerjakan shalat? 
Bilal menjawab; Diantara dua tiang.[7].
Semoga bermanfaat.
                      ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ                               “Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
Sumber:
Fikih Sunnah 2, hal. 21-41, Sayyid Saabiq, Penerbit: PT.Al-Ma'arif-Bandung.
http://www.fimadani.com/hukum-shalat-di-dalam-gereja/
***
[1]. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim, dalam Nailul Authar juz 2, hal. 146].
[2].Tirmizi, no. 346. Ibnu Majah, no. 746 Akan tetapi hadits ini lemah. Tirmizi mengomentari setelahnya, ‘Hadits Ibnu Umar, sanadnya (silsilah para perawi) tidak kuat.' Begitu juga Abu Hatim Ar-Razy melemahkannya dalam kitab ‘Al-Ilal’ karangan anaknya, 1/148. Ibnu Al-Jauzy di Al-Ilal Al-Mutanahiyah, 1/399. Al-Bushairy di Misbahu Az-Zujajah, 1/95. Al-Hafiz (Ibnu Hajar) dalam At-Talkhis, 1/531-532. Dan Al-Albany dalam Al-Irwa, 1/318. Wallaahu a'lam.
[3].(HR. Bukhari no. 1330 dan Muslim no. 529).
[4].[HR. Muslim juz 1, hal. 377].
[5]. (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 5/248).
[6].(Kasyful Qana’ 1/294, Hasyiyatul Jamal 3/572).
[7].(H.R.Darimi 1792, Ahmad, Bukhari dan Muslim).

Pengertian Sujud Syukur, Tatacara dan Alasan Melakukannya

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Sujud Syukur adalah Sujud yang dilakukan karena mensyukuri nikmat Allah disebabkan telah dikaruniai nikmat (keberhasilan) atau telah terlepas dari bahaya (musibah), Baik kenikmatan atau musibah yang bersifat individu atau yang bersifat umum (menimpat umat Islam).
Jumhur ulama sependapat ikhwal sunatnya mengerjakan Sujud Syukur  
Sujud syukur disunnahkan dalam dua kondisi:
1. Ketika adanya anugerah atau nikmat yang baru seperti seseorang mendapat hidayah, masuk Islam, atau umat Islam mendapat pertolongan atau kelahiran anak, dll.
2. Ketika tercegah atau terhindarnya musibah seperti selamat dari kecelakaan tenggelamnya kapal, jatuhnya pesawat atau selamat dari pembunuhan, dan lain-lain.


Hadits-Hadits yang Meriwayatkan Sujud Syukur

  • Diriwayatkan dari Abu Bakrah bahwa Nabi saw. apabila mendapatkan sesuatu yang disenangi atau diberi kabar gembira, segeralah tunduk bersujud sebagai tanda syukur kepada Allah swt.[1].
  • Baihaqi meriwayatkan dengan sanad menurut syarat Bukhari:  "Bahwa Ali r.a. ketika menulis surat kepada Nabi saw. untuk memberitahukan masuk Islamnya Suku Hamdzan, beliau pun sujud dan setelah mengangkat kepalanya terus bersabda: 'Selamat sejahtera atas Suku Hamdzan! Selamat sejahtera atas Suku Hamdzan'!"
  • Dari Abdurrahman bin 'Auf: "Bahwa Rasulullah saw. pada suatu hari keluar dan saya mengikutinya sampai kami tiba di Nakhl. Beliau lalu sujud dan lama sekali sujudnya itu hingga saya takut kalau-kalau Allah akan mendatangkan ajalnya di sana. Saya lalu datang mendapatkannya, tiba-tiba beliau mengankat kepala dan bertanya: 'Mengapa wahai Abdurrahman?' Saya menceritakan perasaan saya tadi, maka beliau pun bersabda:'Sesungguhnya Jibril a.s. datang kepadaku tadi dan berkata:
     إِنِّي لَقِيتُ جَبْرَائِيلَ عَلَيْهِ السَّلامُ فَبَشَّرَنِي وَقَالَ: إِنَّ رَبَّكَ، يَقُولُ: مَنْ صَلَّى عَلَيْكَ صَلَّيْتُ عَلَيْهِ، وَمَنْ سَلَّمَ عَلَيْكَ سَلَّمْتُ عَلَيْهِ، فَسَجَدْتُ لِلَّهِ شُكْرًا  
    'Sukakah Anda kuberi kabar gembira ? Sesungguhnya Allah berfirman kepada Anda: Barang siapa membacakan shalawat padamu, maka Aku akan memberinya rahmat. Dan berang siapa membacakan salam kepadamu, maka Aku akan memberinya keselamatan. Oleh karena itu saya sujud sebagai tanda syukur kepada Allah Ta'ala. [2].
  • Hakim juga meriwayatkan hadits seperti ini dan mengatakan: "Hadits ini sah menurut syarat Bukhari dan Muslim, dan dalam soal sujud syukur ini, belum pernah saya jumpai sebuah hadits yang lebih sah dari ini."
  • Bukhari meriwayatkan bahwa ka'ab bin Malik melakukan sujud syukur ketika menerima berita bahwa tobatnya diterima Allah.
  • Ahmad mengatakan bahwa Ali r.a. juga sujud ketika menemukan mayat Dzats-Tsudaiyan diantara orang-orang Khawarij yang tewas dalam peperangan dengannya. 
  • Sa'ad bin Manshur juga menyebutkan bahwa Abu Bakar melakukan sujud syukur ketika mendengar kematian Musailimah, yakni Nabi palsu.


Tatacara Sujud Syukur

  • Suci lebih afdhal. Sujud syukur itu juga memerlukan syarat-syarat sebagai syarat-syarat shalat, tetapi ada pula ulama yang berpendapat bahwa syarat-syarat itu tidak diperlukan sebab memang bukan termasuk dalam shalat. Dalam kitab Fat-hul 'Allam disebutkan bahwa pendapat kedua inilah yang lebih tepat. Syaukani berkata: "Dalam sujud Syukur tidak terdapat sebuah hadits pun yang menjelaskan bahwa untuk melakukannya itu disyaratkan berwudhu, suci pakaian dan tempat."
  • Takbir diperlukan . imam Yahya dan Abu Thalib. berpendapat bahwa tidak terdapat keterangan dari Nabi saw. yang menjelaskan bahwa dalam sujud syukur itu diharuskan bertakbir, hanya saja disebutkan dalam kitab Bahr bahwa dalam sujud syukur itu takbir diperlukan. 
  • Tata caranya. Seperti sujud tilawah. Yaitu dengan sekali sujud. Ketika akan sujud hendaklah dalam keadaan suci, menghadap kiblat, lalu bertakbir, kemudian melakukan sekali sujud. Saat sujud, bacaan yang dibaca adalah seperti bacaan ketika sujud dalam shalat. Kemudian setelah itu bertakbir kembali dan mengangkat kepala. Setelah sujud tidak ada salam dan tidak ada tasyahud.
  • Tidak di waktu shalat. Imam Yahya berkata bahwa sujud syukur dalam shalat tidak dibolehkan, dan memang tidak ada seorang ulama pun yang memperkenankannya, sebab tidak ada sangkut-pautnya sama sekali.

Catatan:

  1. Tidak untuk nikmat yang kontinyu. Sujud syukur tidak disunnahkan untuk nikmat yang terjadi terus menerus karena anugerah Allah tiada putusnya, seperti nikmat nafas, nikmat hidup, dan bisa merasakan nikmatnya shalat. Mungkin kita pernah melihat sebagian orang yang rutin melakukan sujud syukur setelah selesai dzikir atau ba'da shalat fardhu.Ulama Syafi’iyah dan ulama Hambali berpendapat,  لا يشرع السّجود لاستمرار النّعم لأنّها لا تنقطع “Tidak disyari’atkan (disunnahkan) untuk sujud syukur karena mendapatkan nikmat yang sifatnya terus menerus yang tidak pernah terputus.”
  2. Jarak waktunya. Bagaimana Jika Luput dari Sujud Syukur? Ar Romli rahimahullah mengatakan, وتفوت سجدة الشّكر بطول الفصل بينها وبين سببها “Sujud syukur itu jadi luput jika sudah berlalu waktu yang lama dengan waktu adanya sebab sujud.” Berarti sujud syukur dilakukan ketika mendapatkan nikmat atau selamat dari bencana (musibah), jangan sampai ada selang waktu yang lama.
Allaahu a'lam.

Semoga bermanfaat.
   ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ   
“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.
Sumber:
Fikih Sunnah 2 hal.117-119, Sayyid Saabiq, Penerbit: PT.Al-Ma'rif, Bandung.
***
[1]. HR. Abu Daud, Ibnu Majah serta Tirmidzi menganggapnya sebagai hadits hasan.
[2]. H.R. Ahmad, Hakim, Baihaqi

Sabtu, 22 November 2014

Pengertian Sujud Tilawah, Tatacara dan Bacaannya

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Sujud Tilawah adalah gerakan sujud yang dilakukan ketika membaca ayat-ayat sajadah dalam Quran. Barangsiapa membaca suatu ayat sajadah atau mendengarnya, disunnatkan untuk sujud satu kali. Caranya: bertakbir - sujud - bertakbir lagi untuk bangun dari sujudnya itu. Inilah yang disebut Sujud Tilawah, tetapi tidak perlu membaca tasyahud (bacaan tahiyat) ataupun salam. Pengertian ayat Sajadah adalah ayat-ayat tertentu dalam Al Qur'an yang bila dibaca disunnahkan bagi yang membaca dan mendengarnya untuk melakukan sujud tilawah.

1. Bacaan Dalam Sujud Tilawah

  • Boleh membaca do'a apa saja sekehendaknya, sementara yang diakui berasal dari tuntunan Rasulullah saw. misalnya sebuah hadits dari 'Aisyah r.a., katanya: 'Rasulullah saw. di dalam sujud Tilawah membaca ayat  al-Qur'an:   سجد وجهي للذي خلقه وشق بصره وسمعه بحوله وقوته ، فتبارك الله أحسن الخالقين Sujudlah wajahku kepada Allah. Dzat yang menciptakannya, yang membuka pendengaran serta penglihatannya dengan daya dan Kuasa-Nya. Maka Maha Mulialah Allah, sebaik-baik Dzat Yang Mencipta'."[1].
  • Dari Hudzaifah, beliau menceritakan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika sujud beliau membaca: “Subhaana robbiyal a’laa”. Artinya: Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi. [2].

2. Keutamaannya

  1. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah saw. bersabda:'Apabila seorang anak Adam membaca ayat sajadah, maka menyingkirlah setan sambil menangis dan berkata: Celakalah aku! ia diperintah bersujud lalu sujud, maka untuknyalah surga, sedang saya diperintah bersujud, tetapi saya menolak, maka untukku adalah neraka,'" [3].
  2. Diriwayatkan dari Nafi' dari Ibnu Umar r.a., katanya: "Rasulullah  saw. membacakan al-Qur'an untuk kami. Jikalau  melalui ayat sajadah terus saja beliau bertakbir dan sujud dan kami pun sujud pula." [4].Menurut Abu Daud ia pun tertarik pula oleh sebab itu ia pun bertakbir pula. 
  3. Abdullah bin Mas'ud berkata: "Apabila Anda membaca ayat sajadah, maka bertakbirlah dan sujudlah. Kemudian di waktu mengangkat kepala, maka bertakbirlah sekali lagi."

3. Hukumnya

Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa sujud Tilawah itu sunat dilakukan oleh orang yang membaca atau yang mendengarkan. 
  • Ini berdasarkan keterangan yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari 'Umar r.a., bahwa ia pada hari Jum'at membaca surat An-Nahl di atas mimbar. Ketika sampai pada ayat as-Sajadah, ia pun turunlah dan sujud, kemudian orang-orang lain pun sujud pula. Pada hari Jum'at berikutnya dibacanya pula surat itu sekali lagi dan ketika sampai pada ayat sajadah, ia berkata: "Wahai manusia, kita bukanlah diwajibkan untuk sujud Tilawah itu, maka barang siapa yang sujud, benarlah ia, sedang yang tidak sujud, tidak pula berdosa."
  • Riwayat lain: "Bahwa Allah tidak memfardhukan kita untuk sujud, maka baiknya kita melakukan sekehendak kita saja."
  • Jama'ah selain Ibnu Majah meriwayatkan pula dari Zaid bin Tsabit, katanya: "Saya membaca surat Wan-Najmi di hadapan Nabi saw. tetapi pada ayat sajadah, beliau tidak sujud." Diriwayatkan oleh Daruquthni dan ia berkata: "Juga tidak seorang pun yang sujud di antara hadirin." 
  • Dan dalam kitab Al-Fath, Hafidz menguatkan pendapat bahwa ditinggalkan sujud itu adalah suatu tanda bolehnya. Demikian pula pendapat Syafi'i. Dikuatkan pula oleh hadits yang diriwayatkan oleh Bazzar dan Daruquthni dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Nabi saw. sujud dalam surat Wan-Najmi dan kami pun sujud pula bersama-sama." Hafizh berkata bahwa hadits ini perawi-perawinya dapat dipercaya.

4. Letak Ayat-Ayat Sajadah

Di dalam al-Qur'an, ada 15 tempat - atau ada yang berpendapat 10 - ayat yang memuat ayat-ayat sajadah, untuk mengetahui tulisan dan bunyinya, klik Al-Qur'an Online.
1. Q.S Al-A'raf ayat 206
2. QS Ar-Ra'd ayat 15
3. QS An-Nahl ayat 49
4. QS Al-Isra ayat 107
5. QS Maryam ayat 58
6. QS Al-Haj ayat 18
7. QS An-Naml ayat 25
8. QS As-Sajadah ayat 15
9. QS Al-Furqan ayat 60
10. QS Fussilat ayat 38
11. QS Al-Haj ayat 77
12. QS An-Najm ayat 62
13. QS Al-Insyiqaq ayat 21
14. QS Al-Alaq ayat 19
15. QS Shad ayat 28.



Keterangan:

1. Ayat Sajadah Berulang. Jika seseorang membaca atau mendengar lebih dari 1 kali ayat sajadah dalam satu masjid, cukuplah ia sujud satu kali saja dalam bacaan yang terakhir, tetapi sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa pada bacaan pertama juga sudah mencukupi.

2. Mengqada Sujud Tilawah. Jumhur ulama berpendapat, sekiranya sujud itu diundurkan waktunya, maka tidak gugur kesunahan melakukannya selama tidak terlalu lama jaraknya.

Semoga bermanfaat.

 ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ

Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu

Sumber:
Fikih Sunnah 2, hal. 106-116, Sayyid Saabiq, Penerbit: PT.Al-Ma'arif - Bandung.
***
[1] H.R. Bukhari, Muslim, Nasa'i, Abu Daud dan Hakim, serta  disahkan oleh Turmudzi dan Ibnu Sikkin yang menambahkan "sebanyak 3 kali."
[2].(HR. Muslim no. 772)
[3]. H.R.Ahmad, Muslim, Ibnu Hibban.
[4]. HR.Abu Daud, Baihaqi dan Hakim  yang menganggapnya sebagai hadits shahih menurut riwayat Bukhari dan Muslim.


Pengertian, Tatacara, Sebab dan Kondisi Diperbolehkannya Shalat Secara Jama'

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Shalat Jama' adalah mengumpulkan 2 (dua) shalat wajib yang dikerjakan dalam satu waktu yang sama. Shalat yang dapat dijama' adalah Maghrib dengan Isya, Dhuhur dengan Ashar. Dibolehkan seseorang itu merangkap shalat Dhuhur dengan 'Ashar, baik secara taqdim maupun ta'khir. begitu pun dibolehkan menjama' shalat Magrib dengan Isya.
Shalat Jama' ada 2 jenis:
1. Jama' Taqdim: mengumpulkan 2 (dua) waktu shalat yang dikerjakan pada waktu shalat yang terdahulu (dimajukan). Dhuhur dengan ashar dikerjakan pada waktu Dhuhur, Maghrib dengan Isya dikerjakan pada waktu Magrib..
2. Jama' Ta'khir : Mengumpulakn 2 (dua) waktu shalat yang belakang (dimundurkan) , yaitu: Dhuhur dengan Ashar dikerjakan pada waktu Ashar, Magrib dengan Isya dikerjakan pada waktu isya.

Saat dan Alasan Diperbolehkannya Menjama' Shalat

  1. Menjama' di 'Arafah dan Muzdalifah. Para ulama sependapat bahwa menjama' shalat Dhuhur dan Ashar secara taqdim pada waktu Dzuhur di 'Arafah, begitupun antara Maghrib dan Isya' secara ta'khir di waktu 'Isya di Muzdalifah, hukumnya sunat, berpedoman kepada apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw .
  2. Menjama' saat bepergian. Menjama' dua shalat ketika bepergian, pada salah satu waktu dari kedua shalat itu, menurut sebagian besar para ahli hukumnya boleh, tanpa ada perbedaan, apakah dilakukannya sewaktu berhenti, ataukah selagi dalam perjalanan. Diterima dari Mu'adz: "Bahwa Nabi saw. sewaktu perang Tabuk selalu menjama' Dhuhur dan 'Ashar bila berangkatnya itu sesudah tergelincirnya matahari, tetapi bila berangkatnya itu sebelum matahari tergelincir, maka shalat Dhuhur diundurkan beliau, dan dirangkapnya sekaligus dengan 'Ashar. Begitu pula dalam shalat maghrib, yaitu kalau beliau berangkat sesudah matahari tenggelam, dijama'nya magrib dengan Isya, tetapi kalau berangkatnya sebelum matahari tenggelam, diundurkannyalah Maghrib itu sampai waktu 'Isya dan dijama'nya dengan shalat 'Isya."[1]. Dan masih banyak lagi hadits mengenai hal ini.
  3. Menjama' di waktu hujan. Dalam Sunannya, al-Atsram meriwayatkan dari Abu Salamah bin Abdurrahman, katanya: "Termasuk sunnah Nabi saw. menjama' shalat Maghrib dengan 'Isya, apabila hari hujan lebat." Dan Bukhari meriwayatkan pula bahwa:  إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّىاللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِفِىلَيْلَةٍ مَطِيْرَةٍ (رواه البخارى  "Nabi saw. menjama' shalat Maghrib dan 'Isya di suatu malam yang berhujan lebat." *
  4. Menjama' karena sakit atau ada uzur. Imam Ahmad Husein, al-Khattabi dan al-Mutawalli dari golongan Syafi'i membolehkan menjama', baik takdim atau ta'khir disebabkan sakit, dengan alasan karena kesukaran di waktu itu lebih besar dari kesukaran di waktu hujan. Ulama-ulama Hambali memperluas keringanan itu hingga membolehkan pula menjama' baik takdim maupun ta'khir karena berbagai macam halangan dan juga sedang dalam ketakutan. Mereka membolehkan untuk orang yang sedang menyusui bila sukar untuknya mencuci kain setiap hendak shalat, juga untuk wanita-wanita yang sedang istihadhah, orang yang tidak ditimpa silsalatul haul (kencing berkepanjangan), orang yang tidak dapat bersuci, yang menghawatirkan bahaya bagi dirinya, harta dan kehormatannya, juga bagi orang yang takut mendapatkan rintangan dalam mata pencaharian sekiranya ia meninggalkan jama'. Menurut Ibnu Taimiyah: "Mazhab yang paling luas dalam masalah jama' ini ialah mazhab Ahmad, sebab ia membolehkan orang menjama' bagi yang sedang sibuk bekerja, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nasa'i yang marfu' bersumber kepada Nabi saw., sampai-sampai dibolehkannya pula menjama' bagi juru masak atau pembuat roti dan orang-orang lainnya yang takut hartanya menjadi rusak,"
  5. Menjama' sebab ada keperluan. Dalam syarah Muslim, Nawawi berkata: "Beberapa imam membolehkan jama' bagi orang yang tidak musafir, bila ia ada suatu kepentingan, asal saja hal itu tidak dijadikannya kebiasaaan." Ini juga merupakan pendapat Ibnu Sirin dan Asy-hab dari golongan Maliki, dan menurut al-Khaththabi juga pendapat Qaffal dan Asy-Syasyil Kaabir dari golongan Syafi'i, juga Ishak Marwazi dari jama'ah ahli hadits, serta inilah yang dipilih Ibnul Mundzir. Hal ini dikuatkan oleh lahirnya ucapan Ibnu 'Abbas bahwa jama' itu dimaksudkan agar tidak menyukarkan umat, jadi tidak dijelaskan apakah karena sakit atau karena sebab-sebab lainnya. Hadits ibnu 'Abbas yang dimaksudkan ialah yang diriwayatkan oleh Muslim , sebagai berikut:  جَمَعَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّىاللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِاْلمَدِيْنَةِ فِيْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَمَطَرٍ. قِيْلَ لاِبْنِ عَبَّاسٍ: مَاذَاأَرَادَ بِذَلِكَ؟ أَرَادَأَلاَّ يُحْرِجَ أُمَّتَهُ (رواه بن مسلم عن ابن عباس.  “Rasulullah SAW pernah menjama’ shalat dzuhur dan ashar serta maghrib dan isya’ di Madinah bukan karena keadaan ketakutan dan hujan”, lalu ditanyakan kepada Ibnu Abbas r.a: “kenapa Nabi SAW berbuat demikian?”, ujarnya “maksudnya ialah agar beliau tidak menyukarkan umatnya” [2]. Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas bahwa:  أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّىاللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّىبِالْمَدِيْنَةِ سَبْعًاوَثَمَانِيًّا: اَلظُّهْرَوَالْعَصْرَوَالمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ (رواه البخارىومسلم عن ابن عباس رضىاللّهعنه. “Sesungguhnya Nabi SAW bersembahyang di Madinah sebanyak tujuh dan delapan raka’at, yakni masing-masing menjama’ dzuhur dan ashar serta maghrib, isya’”. Dalam riwayat lain dibawakan dengan lafadh:   ﺟَﻤَﻊَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﻈُّﻬْﺮِ ﻭَﺍﻟْﻌَﺼْﺮِ، ﻭَﺍﻟْﻤَﻐْﺮِﺏِ  ﻭَﺍﻟْﻌِﺸَﺎﺀِ ﺑِﺎﻟْﻤَﺪِﻳﻨَﺔِ، ﻓِﻲ ﻏَﻴْﺮِ ﺧَﻮْﻑٍ، ﻭَﻟَﺎ ﻣَﻄَﺮٍ  “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menjamakshalat Dhuhur dan ‘Ashar, serta shalat Maghrib dan ‘Isyaa’ di Madiinah bukan karena ketakutan maupun hujan” [idem no.705 (54)]. Allahu a'lam.


* Pendapat Madzhab Mengenai Jama' Di Waktu Hujan

  1. Golongan Syafi'i: membolehkan seseorang mukim menjama' shaalt Dhuhur dengan 'Ashar dan Maghrib dengan 'Isya secara takdim saja, dengan syarat adanya hujan ketika membaca takbiratul ihram dalam shalat yang pertama sampai selesai, dan hujan masih turun ketika memulai shalat yang kedua.
  2. Menurut Maliki: boleh menjama' taqdim dalam mesjid antara Maghrib dengan 'Isya disebabkan adanya hujan yang telah atau akan turun, juga boleh dikerjakan karena banyak lumpur di tengah jalan dan malam sangat gelap, hingga menyukarkan orang buat memakai alas kaki. menjama' shalat Dhuhur dan 'Ashar karena hujan ini, dimakruhkan.
  3. Golongan Hambali: boleh menjama' Maghrib dengan 'Isya saja, baik secara taqdim maupun ta'khir, disebabkan adanya salju, lumpur, dingin yang amat sangat serta hujan yang membasahkan pakaian. keringanan ini hanya khusus bagi orang yang bershalat jama'ah di mesjid yang datang dari tempat yang jauh, hingga dengan adanya hujan dan sebagainya itu terhalang dalam perjalanan. Bagi orang yang rumahnya dekat masjid atau yang bershalat jama'ah di rumah saja, atau ia dapat pergi ke mesjid dengan melindungi tubuh, maka ia tidak boleh menjama.'

Jika Uzur Telah Hilang Apakah Shalatnya Perlu di Ulang?

Dalam buku al-Mughni tersebut: "Seseorang yang sudah selesai melakukan dua shalat dalam waktu pertama (jama' takdim), kemudian ternyata bahwa uzur atau halangan itu telah tak ada lagi, sedang waktu shalat yang kedua belum masuk, maka shalat jama'nya tadi sudah mencukupi dan tak perlu mengerjakan shalat yang kedua itu pada waktunya. Sebabnya ialah karena shalatnya sudah sah dan cukup memenuhi syarat. Maka tanggung-jawabnya sudah selesai, karena kewajibannya telah diselesaikannnya selagi ia masih dalam uzur, hingga tak kan batal disebabkan hilangnya uzur itu. Ini sama halnya dengan oerang yang bertayamum dan menemukan air setelah selesai shalat.
Semoga bermanfaat.
                      ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ       
                   “Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
Sumber:
Fikih Sunnah jilid 2, 277-285, Sayyid Saabiq, Penerbit: PT.Al-Ma'arif-Bandung.
***
[1]. Diriwayatkan oleh Abu Daud serta Turmudzi yang menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits hasan.
[2].(HR. Muslim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar